Sabtu, 28 Juni 2008

Studi tentang pemotongan sapi betina dan persentase karkas di RPH Kabupaten Tulungagung

adapun tujuan penelitian ini adalah untuk ( 1 ) . Mengetahui komposisi pemotongan sapi menurut bangsa, umur , dan jenis kelamin di rumah potong hewan ( RPH ) ; ( 2) . Mengetahui beberapa perbandingan ( % ) antara sapiSTUDY of COW SLAUGHTERING and CARCASS PERCENTAGE at SLAUGHTER HOUSE in TULUNGAGUNG REGENCY STUDI TENTANG PEMOTONGAN SAPI BETINA DAN PERSENTASE KARKAS DI RPH KABUPATEN TULUNGAGUNG. Soekotjo (P), Bambang Soejosepoetro (P) dan Puguh Surjowardojo (P). Dalam rangka peningkatan populasi dan pengembangan sapi potong maka dibuatlah suatu Undang-Undang, Peraturan-Peraturan maupun program-program yang mengarah ketujuan tersebut. Undang-Undang tersebut seperti tertuang dalam Staadblad No. 614 pasal tahun 1936, yang diperkuat lagi dengan instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 18 tahun 1978, No. 05/Ins/Um/3/1979 tertanggal 5 Juli 1979 serta Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 509/Kpts/DJP/ Deptan/1981 yang pada intinya adalah larangan menyembelih atau menyuruh menyembelih hewan betina yang masih produktif beserta perkecualiannya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1). Mengetahui komposisi pemotongan sapi menurut bangsa, umur, dan jenis kelamin di Rumah Potong Hewan (RPH); (2). Mengetahui berapa perbandingan ( % ) antara sapi betina dan betina umur produktif yang terpotong di RPH; dan (3). Mengetahui berat hidup dan persentase karkas berdasarkan jenis kelamin dan bangsa sapi. Materi penelitian sapi yang dipotong di RPH Kabupaten Tulungagung sebanyak 309 ekor. Metode penelitian adalah survey. Observasi langsung di lapang dilakukan untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif dan persentase karkas dari sapi yang dipotong di RPH Kabupaten Tulungagung. Sedang untuk Data sekunder berupa keadaan umum wilayah diperoleh dari Instansi yang terkait. Adapun data yang diperoleh dinalisis secara deskriptif (Natzir, 1985). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sapi yang dipotong sebanyak 309 ekor dan 32,04 % sapi jantan (umur 2-7 tahun) sedang 67,96 % sapi betina (umur 2,5-7 tahun); perbandingan antara.betina produktif dengan sapi betina yang dipotong sebesar 23,69 % (50 ekor); rataan berat potong sapi betina sebesar 285,36 ± 17,29 kg dan berat karkasnya 134,32 ± 6,86 kg serta persentase karkas sebesar 47,07 Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Tulungagung masih terdapat pemotongan sapi betina produktif sebanyak 23,69 % dan persentase karkas sebesar 47,07 %. (Nomor Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian 32/x-6/Pro.OP IV.3/96). betina dan betina umur produktif yang terpotong di RPH; dan ( # ). Mengetahui berat hidup dan persentase karkas berdasrkan jenis kelamin dan bangsa sapi. Mater penelitian sapi yang dipotong di RPH Kabupate Tulungagung sebanyak 309 ekor. Metode penelitian adalah survey. Observasi langsung di lapangan dilakukan untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif dan persentase karkas dari sapi yang dipotong di RPH Kabupaten Tulungagung. Sedang untuk Data sekender berupa keadaan umum wilayah diperoleh dari instansi terkait. Adapun data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif [Natzir, 1985]. Hasil dari penelitian ini adalah sapi yang dipotong sebanyak 309 ekor dan 32,04 % sapi jantan [umur 2 - 7 tahun] sedang 67,96 % sapi betina [umur 2, 5 - 7 tahun]; perbandingan antara sebesar 23,69 % [50 ekor]; rataan berat potong sapi betina sebesar 285,36 [17,29 kg], berat karkasnya 134,32 [6,86 kg], serta persentase karkas sebesar 47,07 %. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Tulungagung masih terdapat pemotongan sapi betina produksi sebanyak 23,69 % dan persentase karkas sebesar 47,07 %. --wm12/20/00--Deskripsi Alternatif :adapun tujuan penelitian ini adalah untuk ( 1 ) . Mengetahui komposisi pemotongan sapi menurut bangsa, umur , dan jenis kelamin di rumah potong hewan ( RPH ) ; ( 2) . Mengetahui beberapa perbandingan ( % ) antara sapiSTUDY of COW SLAUGHTERING and CARCASS PERCENTAGE at SLAUGHTER HOUSE in TULUNGAGUNG REGENCY STUDI TENTANG PEMOTONGAN SAPI BETINA DAN PERSENTASE KARKAS DI RPH KABUPATEN TULUNGAGUNG. Soekotjo (P), Bambang Soejosepoetro (P) dan Puguh Surjowardojo (P). Dalam rangka peningkatan populasi dan pengembangan sapi potong maka dibuatlah suatu Undang-Undang, Peraturan-Peraturan maupun program-program yang mengarah ketujuan tersebut. Undang-Undang tersebut seperti tertuang dalam Staadblad No. 614 pasal tahun 1936, yang diperkuat lagi dengan instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 18 tahun 1978, No. 05/Ins/Um/3/1979 tertanggal 5 Juli 1979 serta Surat Keputusan Direktur Jendral Peternakan No. 509/Kpts/DJP/ Deptan/1981 yang pada intinya adalah larangan menyembelih atau menyuruh menyembelih hewan betina yang masih produktif beserta perkecualiannya. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk (1). Mengetahui komposisi pemotongan sapi menurut bangsa, umur, dan jenis kelamin di Rumah Potong Hewan (RPH); (2). Mengetahui berapa perbandingan ( % ) antara sapi betina dan betina umur produktif yang terpotong di RPH; dan (3). Mengetahui berat hidup dan persentase karkas berdasarkan jenis kelamin dan bangsa sapi. Materi penelitian sapi yang dipotong di RPH Kabupaten Tulungagung sebanyak 309 ekor. Metode penelitian adalah survey. Observasi langsung di lapang dilakukan untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif dan persentase karkas dari sapi yang dipotong di RPH Kabupaten Tulungagung. Sedang untuk Data sekunder berupa keadaan umum wilayah diperoleh dari Instansi yang terkait. Adapun data yang diperoleh dinalisis secara deskriptif (Natzir, 1985). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sapi yang dipotong sebanyak 309 ekor dan 32,04 % sapi jantan (umur 2-7 tahun) sedang 67,96 % sapi betina (umur 2,5-7 tahun); perbandingan antara.betina produktif dengan sapi betina yang dipotong sebesar 23,69 % (50 ekor); rataan berat potong sapi betina sebesar 285,36 ± 17,29 kg dan berat karkasnya 134,32 ± 6,86 kg serta persentase karkas sebesar 47,07 Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Tulungagung masih terdapat pemotongan sapi betina produktif sebanyak 23,69 % dan persentase karkas sebesar 47,07 %. (Nomor Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian 32/x-6/Pro.OP IV.3/96). betina dan betina umur produktif yang terpotong di RPH; dan ( # ). Mengetahui berat hidup dan persentase karkas berdasrkan jenis kelamin dan bangsa sapi. Mater penelitian sapi yang dipotong di RPH Kabupate Tulungagung sebanyak 309 ekor. Metode penelitian adalah survey. Observasi langsung di lapangan dilakukan untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif dan persentase karkas dari sapi yang dipotong di RPH Kabupaten Tulungagung. Sedang untuk Data sekender berupa keadaan umum wilayah diperoleh dari instansi terkait. Adapun data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif [Natzir, 1985]. Hasil dari penelitian ini adalah sapi yang dipotong sebanyak 309 ekor dan 32,04 % sapi jantan [umur 2 - 7 tahun] sedang 67,96 % sapi betina [umur 2, 5 - 7 tahun]; perbandingan antara sebesar 23,69 % [50 ekor]; rataan berat potong sapi betina sebesar 285,36 [17,29 kg], berat karkasnya 134,32 [6,86 kg], serta persentase karkas sebesar 47,07 %. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Tulungagung masih terdapat pemotongan sapi betina produksi sebanyak 23,69 % dan persentase karkas sebesar 47,07 %. --wm12/20/00--

PROSPEK PENGEMBANGAN SAPI PERAH DI JAWA TENGAH

Susu merupakan salah satu bahan makanan yang kaya akan protein dan sangat dibutuhkan terutama oleh balita. Booming permintaan susu dalam negeri terjadi, akibat peningkatan harga susu dunia yang mencapai US $ 4000 per ton.

Hal ini dipicu oleh kebijakan Uni Eropa dan beberapa negara penghasil susu yang mengurangi subsidi bagi usaha peternakan sapi perah, sehingga tidak ada insentif bagi peternak negara asing untuk mengembangkan usahanya. Kondisi ini menguntungkan bagi peternak sapi perah Indonesia karena akan terjadi peluang untuk meningkatkan posisi tawar kepada buyer susu dan industri pengolahan susu. Usaha yang selama ini dilakukan oleh kelompok peternak (membentuk asosiasi), pemerintah daerah, koperasi, perguruan tinggi dan pemerintah pusat mencoba untuk “mengangkat” peternakan sapi perah mewujudkan hasil yang nyata, meskipun masih pada tahapan yang belum maksimal.

Kondisi peternakan sapi perah di Jawa Tengah 1. Populasi sapi perah pada tahun 2006 adalah 112.153 ekor, dengan produksi susu 78.231 ton serta jumlah peternak 28.400 orang (Laporan Tahunan Dinas Peternakan Prov. Jawa Tengah 2006).
2. Kualitas susu masih rendah dengan kadar lemak 2,91 %, SNF 7,69, TS 10,6, TPC < 5 juta. Rendahnya kualitas susu disebabkan karena rendahnya pemberian pakan konsentrat (kualitas dan kuantitas), hijauan, tata laksana / managemen pemeliharaan.
3. Harga susu di tingkat peternak Jawa Tengah pada saat ini telah mengalami peningkatkan dari harga Rp.1.450,-/lt menjadi Rp.1.600/lt – Rp.1.900,-/lt, bahkan di koperasi “Andini luhur” sudah mencapai harga Rp. 2.700 /lt, rata-rata Rp. 2.300,-/lt. Perbedaan harga ini tergantung dari kualitas susu yang dilihat dari kandungan TS (Total Solid) dan TPC ( Total Plate Count) / kandungan bakteri di dalam susu segar. Pada saat ini TS tertinggi yang telah dicapai peternak kabupaten Semarang adalah 13,28 dan TPC antara 1,02 jt /ml sampai 5 juta /ml susu. Bahkan ada susu dengan TPC hanya 390 rb/ml susu. Harga susu segar di Provinsi Jawa Tengah memang lebih rendah jika dibandingkan dengan harga susu segar di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, (Jawa Timur dan Jawa Barat harga susu segar rata-rata Rp.2.500,- Rp.3.500,-). Salah satu penyebab rendahnya harga susu di Jawa Tengah adalah kualitas susu yang masih rendah dan belum adanya IPS sendiri, sehingga untuk menuju ke IPS yang terletak di Jawa Barat/ Jawa Timur membutuhkan ongkos transportasi yang cukup mahal.
4. Produktivitas ternak rendah, rata-rata 7 – 9 liter/hari, hal ini disebabkan karena kualitas bibit yang rendah dan bibit sudah tua, kualitas pakan rendah, managemen yang tradisional, calving interval panjang > 18 bulan.

5. Mata rantai tataniaga susu yang panjang, dari peternak ke loper (pengumpul), tempat penampungan sementara, Koperasi Unit Desa, GKSI dan terakhir ke IPS, sehingga mengakibatkan tingginya biaya pemasaran bagi peternak.

6. Diversifikasi usaha produk olahan susu/pengolahan pasca panen persusuan belum berkembang di daerah sentra susu, dalam upaya meningkatkan nilai tambah.

7. Peran sektor swasta (investor) di bidang persusuan (IPS) masih sedikit sehingga susu harus dipasarkan ke luar Provinsi Jawa Tengah

8. Kabupaten /Kota yang berpotensi pengembangan sapi perah adalah Boyolali, Semarang, Salatiga, Klaten, Kota Semarang, Kab Magelang, Banyumas, Sukoharjo dan Wonosobo.
Upaya-upaya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam rangka mengembangkan usaha peternakan sapi perah di Jawa Tengah antara lain:1. Tahun 2004 pemerintah Jepang melalui The Project for Dissemination of Appropriate Dairy Technology Utilizing Local Resources telah memberikan bantuan yang berupa teknologi bagi peternak sapi perah guna meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah di Provinsi Jawa Tengah. Bantuan yang diberikan berupa Training of Trainer (TOT) untuk petugas dan peternak sapi perah di lokasi target area dan bantuan peralatan sesuai dengan kebutuhan peternak. Jumlah petugas dan peternak yang telah mengikuti TOT di Cikole sebanyak 53 orang. Berdasarkan hasil feasibility study oleh Tim JICA maka Kabupaten Semarang telah ditunjuk sebagai lokasi target area kegiatan yaitu Dusun Kemiri Desa Jetak Kecamatan Getasan.
2. Bantuan Demplot kandang model JICA di Kabupaten Semarang dan Boyolali (dari dana APBD I dan swadaya masyarakat dari tahun 2005 - 2007)

3. Melaluin dana APBD I dan APBN telah dibangun VBC (Village Breeding Center) antara lain di Kabupaten Boyolali, Semarang, Wonosobo, Kota Semarang, Klaten dan mendorong Kabupaen/Kota untuk mengalokasikan pust-pusat pembibitan pedesaan melalui dari dana APBD II maupun DAK. Peranan swasta antara lain ”Rowo Seneng” di Kec. Kandangan Kab. Temanggung untuk mengembangkan perbibitan dan budidaya sapi perah; Pondok Pesantren”Sabil Ul Khoirot” di Desa Butuh Kec. Tengaran Kab. Semarang juga telah mengembangkan budidaya sapi perah dimana hasil susunya telah dimanfaatkan untuk anak-anak pondok pesantren.

4. Bantuan ternak sapi perah baik dari pemerintah pusat/Ditjen Peternakan maupun dari pemerintah daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota

5. Proses pembentukan Tim Persusuan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta

6. Disamping Koperasi Unit Desa yang tersebar di Kabupaten/ Kota jalur susu , tahun 1998 telah terbentuk Koperasi serba usaha “ Andini Luhur” yang telah mengangkat harga susu peternak di kabupaten Semarang yang diketuai oleh Bpk. Agus Warsito

7. Peran serta GKSI sebagai penyedia sapronak dan sebagai pengumpul serta pemasaran susu ke IPS.

8. Peranan perbankkan yang telah memberikan berbagai fasilitas kredit bagi usaha peternakaan sapi perah.

9. Pembentukan Pengurus Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) di Kota Solo yang diketuai oleh Bpk. H. Masngut Imam Santoso dan untuk Provinsi Jawa Tengah diketuai oleh Bpk. Agus Warsito dari koperasi “ Andini Luhur” yang berperan mengangkat peternak sapi perah di Indonesia.

10. Peran serta peternak sapi perah dan IPS yang peduli pada sesama (al. P Kasimin Kab. Wonosobo dengan menjual susu pasturisasi seharga Rp. 500,- untuk anak-anak sekolah TK dan SD di wilayah Kabupaten Wonosobo dan ternyata mempunyai dampak yang positif terhadap kecerdasan anak-anak sekolah ; perusahan susu Citra Nasional dll.

11. Berbagai sarana dan prasarana baik dari dana APBN dan APBD telah digunakan untuk pengolahan susu segar menjadi susu pasteurisasi.Kendala yang masih dihadapi dalam usaha peternakan sapi perah :1. Kualitas bibit yang masih rendah karena banyak bibit yang sudah tua sehingga
perlu adanya peremajaan bibit sapi perah2. Kualitas pakan yang masih rendah dan belum optimalnya penggunaan pakan
lokal.3. Penerapan teknologi yang belum merata disemua peternak4. Susu segar merupakan bahan makanan yang mudah rusak, sehingga perlu
penangan yang cepat dan tepat.5. Belum adanya IPS yang dapat menampung susu dari peternak.6. Harga pakan jadi(konsentrat) yang dirasa masih cukup tinggi.7. Belum adanya pabrik pakan jadi (konsentrat) yang dapat menjamin ketersediaan
pakan jadi secara kontinyu dan murah.


Peluang usaha peternakan sapi perah: Selain susu segar yang diperoleh peternak sapi perah, daging juga diperoleh dari penggemukan sapi perah jantan serta kotoran untuk pupuk kandang dan biogas. Hal inilah yang mendorong peternak sapi perah untuk tetap mempertahankan usahanya dalam bidang peternakan sapi perah. Peran serta pemerintah, swasta serta perbankkan sangat diperlukan dalam mengembangkan usaha budidaya/ peternakan sapi perah untuk meningkatkan ketersediaan susu yang semakin tahun semakin meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk, konsumsi protein hewani dan kesejahteraan masyarakat. Serta untuk mendongkrak pendapatan peternak sapi perah yang selama ini relatif kecil.

Masih Mengandalkan Susu Impor

Banyak faktor penyebab produksi susu nasional rendah. Selain karena kebijakan yang tidak pro peternak, juga karena dominannya sistem peternakan tradisional.Aneh, di Indonesia jumlah peternak dan populasi sapi perah dari tahun ke tahun bertambah, tapi produksi susunya tetap rendah, bahkan agak stagnan. Pada 1977 misalnya, di Indonesia tercatat sekitar 300 peternak sapi perah, lalu pada 2002 berkembang menjadi 86.000 peternak, dan 2006 menjadi 120.000 peternak. Namun kenyataannya, peternakan dalam negeri hanya mampu memenuhi 30% dari 1.306 juta ton kebutuhan susu nasional. Sisanya, 70%, harus impor dari Australia dan Selandia Baru.
Ditilik dari sejarahnya, peternakan sapi perah di Indonesia mulai dikenal sejak zaman Belanda. Tapi, ada pendapat lain menyebutkan, peternakan sapi perah di Indonesia baru berkembang sejak 1960-an. Pada tahun itu, peternakan sapi perah terpusat di daerah-daerah dataran tinggi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera utara. Perkembangan produksi susunya juga dinilai cukup cerah.Melihat cerahnya potensi produksi susu saat itu, maka pada 1977, tiga menteri yaitu: menteri pertanian, menteri perdagangan dan koperasi, serta menteri perindustrian mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB). Isinya, ketiga menteri ini secara bersama-sama mengembangkan peternakan sapi perah dan produksinya. SKB itu menjadi tonggak pendorong bagi perkembangan peternakan sapi perah dan produksnya, susu. Menurut Dirjen Peternakan Departemen Pertanian Dr. Ir. Tjeppy D.Soedjana, M.Sc., perkembangan peternakan sapi perah pada 1977 didukung oleh pakan, koperasi, dan industri pengolahan susu (IPS). “Dari semua itu industri persusuan sudah cukup lengkap,” ujar Tjeppy. Tapi, walau perkembangannya cukup maju, namun dilihat dari produksi dan tingkat konsumsi di masyarakat hasilnya berbanding terbalik.Berdasarkan catatan, pada Januari 2007 dari kebutuhan susu nasional yang mencapai 1,306 juta ton per tahun, pasokan dalam negeri baru berkisar 342 ribu ton atau sekitar 30% saja. Buruknya di sektor produksi semakin diperparah dengan rendahnya tingkat konsumsi susu di masyarakat. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia termasuk pengkonsumsi susu yang paling rendah. Orang Indonesia, menurut Theppy, rata-rata mengonsumsi susu hanya 4 kilogram/perkapita/tahun. Walau konsumsi rata-rata pada kisaran 4 kilogram, namun di beberapa kota besar di Indonesia konsumsi masyarakat terhadap susu sangat tinggi. Di Jakarta misalnya, tingkat konsumsi mencapai 24 kilogram/perkapita/tahun. “Sementara di daerah lain hanya 0,01 – 0,05 kilogram/perkapita/ tahun, atau bahkan ada yang tidak minum susu sama sekali,” ujar alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran itu. Rendahnya produksi susu nasional tentu bukan sesuatu yang disengaja. Banyak faktor kenapa itu bisa terjadi. “Ini bisa terjadi karena pemerintah tidak mempunyai granddesign peternakan sapi perah,” ujar Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Drs. Dedi Setiadi. Akibatnya, menurut Dedi, selama 12 tahun persusuan di Indonesia mengalami stagnan. Kondisi itu membuat harga susu menjadi tidak menarik, sehingga banyak peternak tidak peduli lagi dengan peternakannya. Sangat kontras kalau kita membandingkan dengan kepedulian pemerintah Australia, Selandia Baru, dan Jepang dengan para peternaknya. Di negara-negara ini, menurut Dedi Setiadi, keberadaan peternak difasilitasi, diproteksi, dan disubsidi oleh pemerintahnya. Pemerintah Indonesia sebenarnya pernah memberi perlindungan terhadap peternak, namun begitu kesepakatan antara Indonesia dan IMF pada 1997 diteken, perlindungan itu hilang. Jika sebelumnya industri pengolahan susu wajib membeli susu dalam negeri, namun setelah kesepakatan dengan IMF peraturan itu menjadi tidak berlaku, sehingga industri pengolahan susu boleh tidak membeli susu dalam negeri. Kesepakatan dengan IMF oleh pemerintah justru dikuatkan dengan Inpres No. 3 Tahun 1998. Akibat kebijakan yang tidak pro rakyat itu membuat peternak memasarkan produk susunya sendiri-sendiri.Tidak hanya pada tingkat kebijakan saja yang membuat produksi susu di Indonesia masih kembang kempis. Sistem peternakan yang ada pun masih memprihatinkan, yakni 87% peternakan rakyat (tradisional), 7% usaha kecil, 5% usaha menengah, dan 1% skala besar. Skala peternakan rakyat hanya memiliki 2-3 ekor sapi saja. Padahal idealnya setiap peternakan sapi perah memiliki 7-10 ekor sapi. Banyaknya peternakan skala rakyat diakui oleh Sri Kuncoro, pemilik peternakan sapi perah dan Ketua GKSI Jawa Tengah. Menurut Sri Kuncoro, didaerahnya masih banyak peternakan menggunakan sistem tradisional. Banyaknya peternakan tradisional ini, kata Tjeppy, berakibat rendahnya kualitas produk susunya. “Karena kualitasnya masih memprihatinkan, maka harga susu perliter di peternak hanya berkisar Rp1.900 – Rp2.300 per liter,” kata Tjeppy, Dengan parameter itu, menurut Tjeppy, akan berat bila bersaing dengan susu kualitas internasional.Untuk menggenjot produksi susu nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas, pemerintah dan pihak peternak skala besar mempunyai rencana mengembangkan sistem peternakan sapi perah terpadu. Untuk mendukung sistem itu, terkait dengan masalah pakan, baik pemerintah maupun peternak selalu minta dukungan pihak lain. Bila asosiasi atau peternak menggandeng PT. Perhutani maka pemerintah menggandeng pihak perkebunan. Dengan menggandeng para pihak itu, maka soal kesulitan pakan bisa teratasi. Sebab, pihak Perhutani membelehkan di lahan selanya ditanami rumput hijau.Sementara peternak dari Bandung, Jawa Barat, juga menawarkan model pengembangan peternakan sapi perah dalam bentuk lain. Mereka menyebutnya dengan istilah model 100, 1.000, dan 10.000. “Artinya, 100 orang manusia dalam 100 hektare tanah, dengan 1.000 ekor sapi, dan menghasilkan 10000 liter susu setiap hari,” ujar Tjeppy.Sedang dalam konsep yang dibuat pemerintah adalah mengintegrasikan peternakan dengan perkebunan kelapa sawit. “Pengalaman di Bengkulu menunjukkan setiap 1 hektare kebun kelapa sawit bisa menyediakan pakan sapi rata-rata 2,5 ekor sepanjang tahun, ” ujar Tjeppy. Bisa dibayangkan berapa ekor sapi tersedia pakannya, jika luas kebun sawit jutaan hektare. Dengan metode ini, populasi sapi perah akan berlipat jumlahnya dan produksi susunya pun akan bertambah pula. Untuk mendorong peningkatan produksi susu nasional pemerintah juga akan memperluas sentra peternakan sapi perah. Bila selama ini peternakan sapi perah terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, maka masa mendatang pemerintah juga akan dikembangkan di seluruh provinsi. Provinsi yang sudah mulai merintis peternakan sapi perah ini adalah Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Bali. “Daerah itu akan kita kembangkan sebagai sentra peternakan sapi perah, sehingga volume produksi nasional bisa meningkat sampai 45%,” kata Tjeppy. Itu artinya, ada peningkatan 15% dari produksi sebelumnya. Lumayan.(Ardi Winangun)

PENGARUH PROSES PELAYUAN TERHADAP

Abstract
Meat is a kind of food which has a high nutrition value beside egg, milk and fish. To get a high quality meat, conditioning has to be carried out to meat. Conditioning is a very important treatment so that rigor mortis process can proceed perfectly. During conditioning, transformation of intra and extra cellular protein occurs, in which meat autolysis results in tender and moist meat with better flavor.

PENDAHULUAN
Daging merupakan serabut otot yang dilekatkan bersama oleh jaringan ikat dan diselingi dengan serabut syaraf dan pembuluh darah. Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi :
o Daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan
o Daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin)
o Daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku)
o Daging masak
o Daging asap
o Daging olahan
Kualitas karkas dan dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan additif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging.
Komposis kimia daging terdiri dari air 56-72 %, protein 15-22 %, lemak 5-34 %, dan substansi bukan protein terlarut 3,5 % yang meliputi karbohidarat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin, sedangkan hasil analisis proksimat untuk berbagai potongan daging dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Jenis Ternak
Potongan Daging
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Abu (%)
Energi (Kal)
Sapi
Chuck
56
18
25
0.8
303

Flank
72
22
5
1.0
139

Loin
50
15
34
0.7
370

Rib
57
18
25
0.8
300

Round
67
20
12
0.9
197

Rump
59
18
25
0.8
271

Hamburger
60
18
21
20.7
268

AnakSapi
Chuck
70
19
10
1.0
173

Loin
69
19
11
1.0
181

Rib
66
19
14
1.0
207

Babi
Ham
57
16
27
0.7
308

Loin
57
17
25
0.9
298

Spareribs
52
15
33
0.7
631

Kambing
Leg
66
18
15
1.4
209

Loin
59
17
25
0.9
276
Sumber : Aurand et al.(1987)

Protein daging dibagi dalam tiga kelompok yaitu miofibrilar 9,5 %, sarkoplasma 6 % dan stroma 3 %. Lemak terdiri dari fosfolipida, kolesterol, dan asam-asam lemak esensial. Karbohidrat terdapat dalam bentuk glikogen 0.8 %, glukosa 0,1 % dan dalam intermedier dari metabolisme sel 0,1 % dari berat daging.
Epistemologi Proses Pelayuan dan Keempukan Daging
Pelayuan sangat dianjurkan agar proses rigor mortis berlangsung dengan sempurna. Proses pelayuan biasanya dilakukan di Rumah Potong hewan (RPH) dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik beku karkas atau daging (-1,5oC). Pelayuan yang lebih lama dari 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigor mortis dapat disebut pematangan. Pelayuan biasanya dilakukan pada temperatur 32 - 38oF (0 - 3oC), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam pada temperatur -4oC sampai 1oC atau disebut chilling. Pada temperatur tersebut aktifitas enzim terhambat dan proses pengempukan daging berlangsung antara sepuluh sampai empat puluh hari. Rasa daging yang khas dapat terbentuk setelah satu minggu pelayuan, namun demikian daging yang berkualitas rendah jarang mencapai keempukan yang baik pada proses pelayuan.
Proses pengempukan dapat dipercepat dengan meninggikan temperatur penyimpanan. Penyimpanan dalam waktu dua hari pada temperatur 20oC dapat memberikan derajat keempukan yang sama dengan penyimpanan 14 hari pada temperatur 0oC. Karkas sapi memerlukan pelayuan. Karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan, karena dagingnya secara relaif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang relatif cepat. Demikian pula karkas unggas, tidak memerlukan pelayuan seperti karkas ternak ruminansia besar. Karkas babi karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah mengalami proses ransiditas oksidatif maka pelayuan yang lama (misalnya lebih dari 24 jam) tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan.
Pelayuan terjadi akibat proses kontraksi dan relaksasi pada otot sesaat setelah ternak dipotong yang menyebabkan perubahan biokimia dalam jaringan seperti diperlihatkan pada skema berikut :Skema perubahan - perubahan jaringan otot daging ternak potong

Hewan mati
Sirkulasi darah terhenti
Suplai O2 berhenti
Respirasi terhenti Glikolisis
Permulaan rigor mortis
Rigor mortis Kerusakan protein
Pasca rigor mortis
Pembusukan Diskolorasi
Sumber : Afianti (1997)
Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor mortis, rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan. Penemuan baru menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase pre rigor mortis, oleh karena itu bertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada temperatur 20oC pada fase pre rigor mortis. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase pasca rigor mortis adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan menghasilkan daging yang tidak empuk (alot).
Keempukan daging dapat terjadi karena ternak menyimpan glikogen di dalam otot sebagai sumber persediaan energi, untuk itu mengistirahatkan ternak yang akan dipotong selama 24 jam dapat meningkatkan jumlah glikogen yang pada akhirnya akan menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Pendapat lain menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keempukan daging adalah faktor sebelum pemotongan (ante mortem) dan sesudah pemotongan (post mortem). Yang termasuk ante mortem adalah latar belakang genetik, cara-cara pemotongan, lama penyimpanan, temperatur penyimpanan dan penembahan zat pelunak, selain faktor-faktor tersebut jumlah lemak yang terdapat diantara jaringan pengikat otot ikut berpengaruh terhadap keempukan daging.
Daging akan berubah menjadi empuk apabila dilayukan hal ini karena selama proses pelayuan terjadi perubahan-perubahan pada protein intra dan ekstra seluler sehingga proses autolisis pada daging menghasilkan daging yg lebih empuk, lebih basah dan flavour lebih baik.
Fungsi pengempukan daging dengan pelayuan merupakan fungsi dari waktu dan temperatur. Pada temperatur yang tinggi akan menghasilkan tingkat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan pada temperatur rendah. Keempukan juga dapat ditingkatkan dengan perlakuan pendinginan , perlakuan enzim dan perebusan.
Setelah ternak mati dan daging mengalami rigor mortis, ikatan struktur miofibril dilonggarkan oleh enzim proteolitik, rusaknya komponen protein dari miofibril dapat meningkatkan keempukan daging.Denaturasi protein pada pelayuan terjadi karena pH yang rendah, temperatur diatas 25oC atau dibawah 0oC, adanya desikasi. Pada pelayuan protein miofibril dan sarkoplasma mengalami denaturasi sedangkan kolagen dan elastin tidak terdenaturasi. Denaturasi protein akan menyebabkan daya ikat air daging turun sehingga daging akan mengalami kehilangan cairan daging atau weep. Titik minimum daya ikat air pada pH 5,4-5,5. Pelayuan dapat menurunkan daya putus WB (Warner Blatzler), sehingga dapat meningkatkan keempukan daging, nilai daya putus WB merupakan indeks tingkat kealotan miofibrilar dari daging.
Pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air pada berbagai macam pH karena terjadinya perubahan hubungan air - protein, yaitu peningkatan muatan melalui absorbsi ion K dan pembebasan ion Ca, tetapi penyimpanan yang terlalu lama akan menurunkan daya ikat air dan terjadinya perubahan struktur otot.
Walaupun pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air tetapi sangat dipengaruhi oleh pH dan pada akhirnya daging kehilangan cairannya. Pelayuan pada temperatur (0 - 1)oC selama 21 hari dapat meningkatkan daya ikat air dan keempukan daging sapi serta menurunkan susut masak (cooking loss) dan penyusutan daging.
KESIMPULAN
Pelayuan perlu dilakukan pada karkas sapi karena kekakuan (rigor mortis) berlangsung dalam waktu relatif lama, juga daging sapi relatif kurang empuk pada umur pemotongan yang sudah tua. Pada pelayuan daging terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan keempukan daging meningkat tetapi sebaliknya daya ikat air dari daging menurun yang mengakibatkan susut masak meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Afianti F. 1997. Pelayuan Sebagai Salah Satu Cara Pengempukan Daging. Buletin PPSKI. No. 8 Th. X : 3 - 4
Aurand, L. W., A. W. Woods and M. R. Wells. 1987. Food Composition and Analysis. An AVI Book, Pub. Van Nostrand Reinhold Co.,New york.
Bouton, P. E. and P. V. Harris 1972. The effects of Cooking Temperature and Time on Some Mechanical Properties of Meat. J. Food Sci. 97 : 140 - 144
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wooton., 1978. Food Science. Watson Ferguson & Co. Brisbane, Australia.
Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Co, San Fransisco.
Lawrie, R. A. 1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press. Oxford.
Mitchell, G. E. J. E. Giles, S. A. Rogers, L. T.Tan, R. J. Naido dan D. M. Ferguson. 1991. Tenderzing, Ageing and Thawing Effectson Sensory, Chemical, and Physical Properties of Beef Steaks. J. Food Sci. 56 :1125 - 1129.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Taylor, R. E. 1984. Beef Production and The Beef Industry : A Beef Producer's Perspective. Burgess Publishing Co. Minneapolis, Minnesota.