Sabtu, 28 Juni 2008

PENGARUH PROSES PELAYUAN TERHADAP

Abstract
Meat is a kind of food which has a high nutrition value beside egg, milk and fish. To get a high quality meat, conditioning has to be carried out to meat. Conditioning is a very important treatment so that rigor mortis process can proceed perfectly. During conditioning, transformation of intra and extra cellular protein occurs, in which meat autolysis results in tender and moist meat with better flavor.

PENDAHULUAN
Daging merupakan serabut otot yang dilekatkan bersama oleh jaringan ikat dan diselingi dengan serabut syaraf dan pembuluh darah. Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi :
o Daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan
o Daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin)
o Daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku)
o Daging masak
o Daging asap
o Daging olahan
Kualitas karkas dan dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan additif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging.
Komposis kimia daging terdiri dari air 56-72 %, protein 15-22 %, lemak 5-34 %, dan substansi bukan protein terlarut 3,5 % yang meliputi karbohidarat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin, sedangkan hasil analisis proksimat untuk berbagai potongan daging dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Jenis Ternak
Potongan Daging
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Abu (%)
Energi (Kal)
Sapi
Chuck
56
18
25
0.8
303

Flank
72
22
5
1.0
139

Loin
50
15
34
0.7
370

Rib
57
18
25
0.8
300

Round
67
20
12
0.9
197

Rump
59
18
25
0.8
271

Hamburger
60
18
21
20.7
268

AnakSapi
Chuck
70
19
10
1.0
173

Loin
69
19
11
1.0
181

Rib
66
19
14
1.0
207

Babi
Ham
57
16
27
0.7
308

Loin
57
17
25
0.9
298

Spareribs
52
15
33
0.7
631

Kambing
Leg
66
18
15
1.4
209

Loin
59
17
25
0.9
276
Sumber : Aurand et al.(1987)

Protein daging dibagi dalam tiga kelompok yaitu miofibrilar 9,5 %, sarkoplasma 6 % dan stroma 3 %. Lemak terdiri dari fosfolipida, kolesterol, dan asam-asam lemak esensial. Karbohidrat terdapat dalam bentuk glikogen 0.8 %, glukosa 0,1 % dan dalam intermedier dari metabolisme sel 0,1 % dari berat daging.
Epistemologi Proses Pelayuan dan Keempukan Daging
Pelayuan sangat dianjurkan agar proses rigor mortis berlangsung dengan sempurna. Proses pelayuan biasanya dilakukan di Rumah Potong hewan (RPH) dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik beku karkas atau daging (-1,5oC). Pelayuan yang lebih lama dari 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigor mortis dapat disebut pematangan. Pelayuan biasanya dilakukan pada temperatur 32 - 38oF (0 - 3oC), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam pada temperatur -4oC sampai 1oC atau disebut chilling. Pada temperatur tersebut aktifitas enzim terhambat dan proses pengempukan daging berlangsung antara sepuluh sampai empat puluh hari. Rasa daging yang khas dapat terbentuk setelah satu minggu pelayuan, namun demikian daging yang berkualitas rendah jarang mencapai keempukan yang baik pada proses pelayuan.
Proses pengempukan dapat dipercepat dengan meninggikan temperatur penyimpanan. Penyimpanan dalam waktu dua hari pada temperatur 20oC dapat memberikan derajat keempukan yang sama dengan penyimpanan 14 hari pada temperatur 0oC. Karkas sapi memerlukan pelayuan. Karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan, karena dagingnya secara relaif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang relatif cepat. Demikian pula karkas unggas, tidak memerlukan pelayuan seperti karkas ternak ruminansia besar. Karkas babi karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah mengalami proses ransiditas oksidatif maka pelayuan yang lama (misalnya lebih dari 24 jam) tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan.
Pelayuan terjadi akibat proses kontraksi dan relaksasi pada otot sesaat setelah ternak dipotong yang menyebabkan perubahan biokimia dalam jaringan seperti diperlihatkan pada skema berikut :Skema perubahan - perubahan jaringan otot daging ternak potong

Hewan mati
Sirkulasi darah terhenti
Suplai O2 berhenti
Respirasi terhenti Glikolisis
Permulaan rigor mortis
Rigor mortis Kerusakan protein
Pasca rigor mortis
Pembusukan Diskolorasi
Sumber : Afianti (1997)
Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor mortis, rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan. Penemuan baru menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase pre rigor mortis, oleh karena itu bertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada temperatur 20oC pada fase pre rigor mortis. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase pasca rigor mortis adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan menghasilkan daging yang tidak empuk (alot).
Keempukan daging dapat terjadi karena ternak menyimpan glikogen di dalam otot sebagai sumber persediaan energi, untuk itu mengistirahatkan ternak yang akan dipotong selama 24 jam dapat meningkatkan jumlah glikogen yang pada akhirnya akan menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Pendapat lain menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keempukan daging adalah faktor sebelum pemotongan (ante mortem) dan sesudah pemotongan (post mortem). Yang termasuk ante mortem adalah latar belakang genetik, cara-cara pemotongan, lama penyimpanan, temperatur penyimpanan dan penembahan zat pelunak, selain faktor-faktor tersebut jumlah lemak yang terdapat diantara jaringan pengikat otot ikut berpengaruh terhadap keempukan daging.
Daging akan berubah menjadi empuk apabila dilayukan hal ini karena selama proses pelayuan terjadi perubahan-perubahan pada protein intra dan ekstra seluler sehingga proses autolisis pada daging menghasilkan daging yg lebih empuk, lebih basah dan flavour lebih baik.
Fungsi pengempukan daging dengan pelayuan merupakan fungsi dari waktu dan temperatur. Pada temperatur yang tinggi akan menghasilkan tingkat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan pada temperatur rendah. Keempukan juga dapat ditingkatkan dengan perlakuan pendinginan , perlakuan enzim dan perebusan.
Setelah ternak mati dan daging mengalami rigor mortis, ikatan struktur miofibril dilonggarkan oleh enzim proteolitik, rusaknya komponen protein dari miofibril dapat meningkatkan keempukan daging.Denaturasi protein pada pelayuan terjadi karena pH yang rendah, temperatur diatas 25oC atau dibawah 0oC, adanya desikasi. Pada pelayuan protein miofibril dan sarkoplasma mengalami denaturasi sedangkan kolagen dan elastin tidak terdenaturasi. Denaturasi protein akan menyebabkan daya ikat air daging turun sehingga daging akan mengalami kehilangan cairan daging atau weep. Titik minimum daya ikat air pada pH 5,4-5,5. Pelayuan dapat menurunkan daya putus WB (Warner Blatzler), sehingga dapat meningkatkan keempukan daging, nilai daya putus WB merupakan indeks tingkat kealotan miofibrilar dari daging.
Pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air pada berbagai macam pH karena terjadinya perubahan hubungan air - protein, yaitu peningkatan muatan melalui absorbsi ion K dan pembebasan ion Ca, tetapi penyimpanan yang terlalu lama akan menurunkan daya ikat air dan terjadinya perubahan struktur otot.
Walaupun pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air tetapi sangat dipengaruhi oleh pH dan pada akhirnya daging kehilangan cairannya. Pelayuan pada temperatur (0 - 1)oC selama 21 hari dapat meningkatkan daya ikat air dan keempukan daging sapi serta menurunkan susut masak (cooking loss) dan penyusutan daging.
KESIMPULAN
Pelayuan perlu dilakukan pada karkas sapi karena kekakuan (rigor mortis) berlangsung dalam waktu relatif lama, juga daging sapi relatif kurang empuk pada umur pemotongan yang sudah tua. Pada pelayuan daging terjadi denaturasi protein yang mengakibatkan keempukan daging meningkat tetapi sebaliknya daya ikat air dari daging menurun yang mengakibatkan susut masak meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Afianti F. 1997. Pelayuan Sebagai Salah Satu Cara Pengempukan Daging. Buletin PPSKI. No. 8 Th. X : 3 - 4
Aurand, L. W., A. W. Woods and M. R. Wells. 1987. Food Composition and Analysis. An AVI Book, Pub. Van Nostrand Reinhold Co.,New york.
Bouton, P. E. and P. V. Harris 1972. The effects of Cooking Temperature and Time on Some Mechanical Properties of Meat. J. Food Sci. 97 : 140 - 144
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wooton., 1978. Food Science. Watson Ferguson & Co. Brisbane, Australia.
Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Co, San Fransisco.
Lawrie, R. A. 1979. Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press. Oxford.
Mitchell, G. E. J. E. Giles, S. A. Rogers, L. T.Tan, R. J. Naido dan D. M. Ferguson. 1991. Tenderzing, Ageing and Thawing Effectson Sensory, Chemical, and Physical Properties of Beef Steaks. J. Food Sci. 56 :1125 - 1129.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Taylor, R. E. 1984. Beef Production and The Beef Industry : A Beef Producer's Perspective. Burgess Publishing Co. Minneapolis, Minnesota.

Tidak ada komentar: