Sabtu, 28 Juni 2008

Masih Mengandalkan Susu Impor

Banyak faktor penyebab produksi susu nasional rendah. Selain karena kebijakan yang tidak pro peternak, juga karena dominannya sistem peternakan tradisional.Aneh, di Indonesia jumlah peternak dan populasi sapi perah dari tahun ke tahun bertambah, tapi produksi susunya tetap rendah, bahkan agak stagnan. Pada 1977 misalnya, di Indonesia tercatat sekitar 300 peternak sapi perah, lalu pada 2002 berkembang menjadi 86.000 peternak, dan 2006 menjadi 120.000 peternak. Namun kenyataannya, peternakan dalam negeri hanya mampu memenuhi 30% dari 1.306 juta ton kebutuhan susu nasional. Sisanya, 70%, harus impor dari Australia dan Selandia Baru.
Ditilik dari sejarahnya, peternakan sapi perah di Indonesia mulai dikenal sejak zaman Belanda. Tapi, ada pendapat lain menyebutkan, peternakan sapi perah di Indonesia baru berkembang sejak 1960-an. Pada tahun itu, peternakan sapi perah terpusat di daerah-daerah dataran tinggi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera utara. Perkembangan produksi susunya juga dinilai cukup cerah.Melihat cerahnya potensi produksi susu saat itu, maka pada 1977, tiga menteri yaitu: menteri pertanian, menteri perdagangan dan koperasi, serta menteri perindustrian mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB). Isinya, ketiga menteri ini secara bersama-sama mengembangkan peternakan sapi perah dan produksinya. SKB itu menjadi tonggak pendorong bagi perkembangan peternakan sapi perah dan produksnya, susu. Menurut Dirjen Peternakan Departemen Pertanian Dr. Ir. Tjeppy D.Soedjana, M.Sc., perkembangan peternakan sapi perah pada 1977 didukung oleh pakan, koperasi, dan industri pengolahan susu (IPS). “Dari semua itu industri persusuan sudah cukup lengkap,” ujar Tjeppy. Tapi, walau perkembangannya cukup maju, namun dilihat dari produksi dan tingkat konsumsi di masyarakat hasilnya berbanding terbalik.Berdasarkan catatan, pada Januari 2007 dari kebutuhan susu nasional yang mencapai 1,306 juta ton per tahun, pasokan dalam negeri baru berkisar 342 ribu ton atau sekitar 30% saja. Buruknya di sektor produksi semakin diperparah dengan rendahnya tingkat konsumsi susu di masyarakat. Dibanding dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia termasuk pengkonsumsi susu yang paling rendah. Orang Indonesia, menurut Theppy, rata-rata mengonsumsi susu hanya 4 kilogram/perkapita/tahun. Walau konsumsi rata-rata pada kisaran 4 kilogram, namun di beberapa kota besar di Indonesia konsumsi masyarakat terhadap susu sangat tinggi. Di Jakarta misalnya, tingkat konsumsi mencapai 24 kilogram/perkapita/tahun. “Sementara di daerah lain hanya 0,01 – 0,05 kilogram/perkapita/ tahun, atau bahkan ada yang tidak minum susu sama sekali,” ujar alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran itu. Rendahnya produksi susu nasional tentu bukan sesuatu yang disengaja. Banyak faktor kenapa itu bisa terjadi. “Ini bisa terjadi karena pemerintah tidak mempunyai granddesign peternakan sapi perah,” ujar Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Drs. Dedi Setiadi. Akibatnya, menurut Dedi, selama 12 tahun persusuan di Indonesia mengalami stagnan. Kondisi itu membuat harga susu menjadi tidak menarik, sehingga banyak peternak tidak peduli lagi dengan peternakannya. Sangat kontras kalau kita membandingkan dengan kepedulian pemerintah Australia, Selandia Baru, dan Jepang dengan para peternaknya. Di negara-negara ini, menurut Dedi Setiadi, keberadaan peternak difasilitasi, diproteksi, dan disubsidi oleh pemerintahnya. Pemerintah Indonesia sebenarnya pernah memberi perlindungan terhadap peternak, namun begitu kesepakatan antara Indonesia dan IMF pada 1997 diteken, perlindungan itu hilang. Jika sebelumnya industri pengolahan susu wajib membeli susu dalam negeri, namun setelah kesepakatan dengan IMF peraturan itu menjadi tidak berlaku, sehingga industri pengolahan susu boleh tidak membeli susu dalam negeri. Kesepakatan dengan IMF oleh pemerintah justru dikuatkan dengan Inpres No. 3 Tahun 1998. Akibat kebijakan yang tidak pro rakyat itu membuat peternak memasarkan produk susunya sendiri-sendiri.Tidak hanya pada tingkat kebijakan saja yang membuat produksi susu di Indonesia masih kembang kempis. Sistem peternakan yang ada pun masih memprihatinkan, yakni 87% peternakan rakyat (tradisional), 7% usaha kecil, 5% usaha menengah, dan 1% skala besar. Skala peternakan rakyat hanya memiliki 2-3 ekor sapi saja. Padahal idealnya setiap peternakan sapi perah memiliki 7-10 ekor sapi. Banyaknya peternakan skala rakyat diakui oleh Sri Kuncoro, pemilik peternakan sapi perah dan Ketua GKSI Jawa Tengah. Menurut Sri Kuncoro, didaerahnya masih banyak peternakan menggunakan sistem tradisional. Banyaknya peternakan tradisional ini, kata Tjeppy, berakibat rendahnya kualitas produk susunya. “Karena kualitasnya masih memprihatinkan, maka harga susu perliter di peternak hanya berkisar Rp1.900 – Rp2.300 per liter,” kata Tjeppy, Dengan parameter itu, menurut Tjeppy, akan berat bila bersaing dengan susu kualitas internasional.Untuk menggenjot produksi susu nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas, pemerintah dan pihak peternak skala besar mempunyai rencana mengembangkan sistem peternakan sapi perah terpadu. Untuk mendukung sistem itu, terkait dengan masalah pakan, baik pemerintah maupun peternak selalu minta dukungan pihak lain. Bila asosiasi atau peternak menggandeng PT. Perhutani maka pemerintah menggandeng pihak perkebunan. Dengan menggandeng para pihak itu, maka soal kesulitan pakan bisa teratasi. Sebab, pihak Perhutani membelehkan di lahan selanya ditanami rumput hijau.Sementara peternak dari Bandung, Jawa Barat, juga menawarkan model pengembangan peternakan sapi perah dalam bentuk lain. Mereka menyebutnya dengan istilah model 100, 1.000, dan 10.000. “Artinya, 100 orang manusia dalam 100 hektare tanah, dengan 1.000 ekor sapi, dan menghasilkan 10000 liter susu setiap hari,” ujar Tjeppy.Sedang dalam konsep yang dibuat pemerintah adalah mengintegrasikan peternakan dengan perkebunan kelapa sawit. “Pengalaman di Bengkulu menunjukkan setiap 1 hektare kebun kelapa sawit bisa menyediakan pakan sapi rata-rata 2,5 ekor sepanjang tahun, ” ujar Tjeppy. Bisa dibayangkan berapa ekor sapi tersedia pakannya, jika luas kebun sawit jutaan hektare. Dengan metode ini, populasi sapi perah akan berlipat jumlahnya dan produksi susunya pun akan bertambah pula. Untuk mendorong peningkatan produksi susu nasional pemerintah juga akan memperluas sentra peternakan sapi perah. Bila selama ini peternakan sapi perah terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara, maka masa mendatang pemerintah juga akan dikembangkan di seluruh provinsi. Provinsi yang sudah mulai merintis peternakan sapi perah ini adalah Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Bali. “Daerah itu akan kita kembangkan sebagai sentra peternakan sapi perah, sehingga volume produksi nasional bisa meningkat sampai 45%,” kata Tjeppy. Itu artinya, ada peningkatan 15% dari produksi sebelumnya. Lumayan.(Ardi Winangun)

Tidak ada komentar: